Korupsi Pajak Bank BCA Madesu

Pangkal perkara ini dimulai pada tahun 2002, saat itu lembaga yang Hadi Poernomo pimpin tengah memeriksa laporan pajak Bank BCA tahun 1999. Pada laporan tersebut disebutkan bahwa Bank BCA membukukan laba fiscal sebesar Rp 174 miliar. Namun Direktorat Jenderal Pajak menemukan temuan lain, keuntungan laba fiskal BCA pada 1999 mencapai Rp 6,78 triliun. Pembengkakan laba fiskal ini bersumber dari transaksi pengalihan aset kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) Bank BCA ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 5,7 triliun. Penghapusan utang bermasalah Rp 5,7 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA.

Disinilah yang menjadi perdebatan, jika menurut penjelasan pihak Bank BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham. Dengan kata lain, bagi BCA angka Rp 5,7 triliun bukan non performing loan(NPL), sedangkan sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar.

Perhatikan dengan seksama NPL menurut versi Bank BCA. Bagi Bank BCA, pasca krisis 1998, BCA berhasil membukukan laba fiscal sebesar RP 174 miliar di tahun 1999. Barulah kemudian pada tahun 2002, Direktorat Jenderal Pajak melakukan pendalaman pada laporan BCA, pada hasil telaah Ditjen Pajak laba fiscal versi BCA direvisi menjadi Rp 6,78 triliun.

Maka jelaslah sudah bahwa banyak pihak yang tak ingin kasus pajak BCA ini terbongkar. Lantaran terbongkarnya kasus pajak BCA tentu akan menggiring penyidikan pada skandal BLBI, mengingat kedua kasus itu saling terkait.

Selain itu salah satu pemilik BCA, Anthonny Salim, yang disebut-sebut dekat dengan presiden terpilih, Joko Widodo juga menjadi salah satu faktor sulitnya kasus ini terbongkar.

Bukan rahasia lagi, benang kusut BLBI ini tak lepas dari kejanggalan skema Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) atau perjanjian pengembalian BLBI oleh para konglomerat melalui penyerahan jaminan aset. Dengan skema ini, kerugian negara senilai Rp 144,5 triliun tadi dikembalikan kepada negara dalam bentuk aset senilai Rp 112 triliun.

Masalahnya, aset yang diserahkan oleh para konglomerat busuk tadi nilainya jatuh merosot dibandingkan dengan angka riilnya. Bayangkan, dari taksiran harga aset senilai Rp 112 triliun ternyata harga riilnya hanya Rp 32 triliun. Menurut kalkulasi mantan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, pembayaran utang BLBI melalui skema MSAA berpotensi merugikan negara senilai Rp 80 triliun.

Nah, khusus untuk Salim, kelompok bisnisnya memang sempat menikmati BLBI senilai Rp 52,6 triliun untuk menyelamatkan BCA. Belakangan, ketika rezim pemerintahan berganti, Salim Group hanya sanggup mengembalikan utang sebesar Rp 100 miliar dan – melalui skema MSAA tadi – menyerahkan 140 perusahaannya kepada pemerintah.

Fakta diatas ejawantahkan anggapan KPK lemah jika dihadapkan dengan jaringan koruptor. Terbukti di kasus pajak BCA, KPK selalu diintervensi. Upaya pengusutan kasus pajak BCA hingga kini tak jelas penyelesaiannya.

Referensi :

  1. http://kwikkiangie.com/v1/category/ekonomi/blbi/
  2. http://finance.detik.com/read/2007/09/27/185233/835294/4/kwik-buka-kedok-di-balik-penyelesaian-blbi-bca
  3. http://www.antaranews.com/berita/485479/hadi-poernomo-ajukan-praperadilan