Mengupas Dari BLBI Hingga Korupsi Pajak BCA

Berawal terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, Bank BCA mengalami kerugian fiscal sebesar Rp. 29,2 T. berdasarkan UU No 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, Keputusan Menteri Keuangan No 117/1999 dan Keputusan Gubernur Bank Indonesia No 31/1999, Bank BCA dapat menggunakan kerugian fiscal tersebut sebagai kerugian yang dikompensasikan dengan penghasilan atau yang lebih dikenal tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya hingga 5 tahun ke depan.

Kemudian pada tahun 1999, Bank BCA melaporkan laba fiskal saat itu tercatat Rp. 174 M. Akan tetapi pemeriksaan pajak yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) pada tahun 2002 dalam mengoreksi laba fiskal Bank BCA tersebut menjadi Rp. 6,78 T. Menurut Sunarsip, dalam koreksi laba fiskal tersebut terdapat Rp. 5,77 T yang oleh Bank BCA disebutkan sebagai asset NPL yang dialihkan kepada BPPN melalui transaksi jual beli. Pihak Bank BCA sendiri berpendapat, karena asset NPL berada di tangan BPPN, maka segala hak yang timbul dari asset NPL tersebut mestinya menjadi kewengan BPPN.

Namun pada tahun 2003, terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp. 3,29 T sehingga seluruh hasil penjualan menjadi milik BPPN. Menurut Bank BCA, karena hasil recovery asset tersebut masuk ke BPPN, maka seharusnya tidak ada PPh yang harus dibayar oleh Bank BCA. Tetapi setelah dilakukan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak DJP pendapatnya justru berbeda. Pihak DJP berpendapat transaksi asset sebesar Rp. 5,77 T tersebut dianggap sebagai penghapusan piutang macet. Sehingga hasil dari recovery asset seharusnya dicatatkan sebagai penghasilan. Karenanya pihak DJP menganggap Bank BCA masih memiliki hutang pajak.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, DJP mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada Bank BCA. Namun, respon dari Bank BCA ialah mengajukan keberatan kepada DJP atas koreksi laba fiskal tersebut. Disamping itu, terlihat keanehan juga ketika Hadi Poernomo sebagai Dirjen Pajak ketika itu menerima seluruh keberatan pajak yang diajukan Bank BCA. Sedangkan untuk keberatan pajak Bank lain ditolak padahal memiliki permasalahan yang sama dengan Bank BCA. Fakta tersebutlah yang dicurigai apakah pihak Bank BCA terlibat dengan memberikan sedikit uang ‘pelicin’ untuk meminta Hadi Poernomo agar meloloskan permohonan pajaknya.

Kemudian, Hadi Poernomo dipanggil KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk segera diperiksa. Alhasil, Hadi Poernomo diputuskan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait permohon pajak yang diajukan Bank BCA. Lalu Abraham Samad dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan Jakarta mengatakan “sehubungan ditingkatkannya kasus penyelidikan ke penyidikan, kasus yang akan kami sampaikan duduk perkaranya adalah kasus yang melibatkan mantan Dirjen Pajak, Ketua BPK, Hadi Poernomo”. Hadi Poernomo diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait permohonan keberatan pajak Bank BCA selaku wajib pajak pada 2003. Hadi Poernomo terjerat melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun apa yang terjadi setelah itu? Setahun pasca keputusan peningkatan kasus dari penyelidikan menjadi penyidikan terdapat putusan hakim praperadilan yaitu putusan ultra peltita yang membebaskan Hadi Poernomo. Namun, pasca putusan ultra petita tersebut tidak ada kejelasan lagi untuk mengusut kasus tersebut hingga saat ini.
Sumber:

http://www.banglaban.com/2016/04/kpk-tetapkan-ketua-bpk-hadi-purnomo.html

http://www.hatree.me/2016/04/mantan-ketua-bpk-pernah-jadi-tersangka.html

https://ihatemycountry.wordpress.com/tag/kronologis-kasus-blbi/

http://www.teropongsenayan.com/9255-kasus-bca-di-tengah-pusaran-polemik

Leave a comment